Archives
Menjamu Turkmenistan, pelatih Alfred Riedl memainkan formasi 4-2-2 dengan Titus Bonai dan kapten Yongki Aribowo tampil sebagai starter di lini depan. Babak pertama berakhir imbang 1-1. Indonesia lebih dulu memimpin lewat gol Titus pada menit ke-13. Tapi, selang tiga menit kemudian, tim tamu Turkmenistan menyamakan kedudukan lewat tendangan bebas kapten Amanov Arslanmyrat.
Pada babak kedua, Indonesia mengambil inisiatif serangan untuk mencoba kembali memimpin skor. Skuat Merah Putih kembali melakukan serangan lewat Oktovianus Maniani dari sayap kiri. Tapi sayang, Indonesia tidak kunjung mampu menjebol gawang Turkmenistan hingga menit ke-80.
Bencana justru menerpa kubu Indonesia di sepuluh menit terakhir pertandingan. Menerima umpan sodoran, Aleksandr Boliyan berdiri bebas tanpa terkawal melepaskan tembakan untuk membawa Turkmenistan memimpin 2-1. Selang enam menit kemudian, tim tamu menambah pundi golnya menjadi 3-1 lewat gol Vahyt.
Kekalahan 1-3 ini membuat peluang Indonesia tipis. Di Turkmenistan, skuat Alfred Riedl ini harus menang 3-0 untuk memastikan lolos ke babak berikutnya. Mereka juga harus menghadapi serangan suhu dingin Turkmenistan yang mencapai lima derajat celcius.
Tidak hanya itu. Timnas u23 Indonesia juga mengalami kendala masalah non-teknis. Iman Arif, manajer timnas u23 Indonesia, mengaku manajemen belum punya dana untuk bertandang ke negara pecahan Uni Soviet tersebut.
http://www.harianberita.com/tolak-nurdin-suporter-akan-turun-ke-jalan.html
Perintah merayakan Maulid ini disampaikan pertama kali pada musim Haji 579 H (1183 Masehi). Sebagai penguasa dua tanah suci kala itu, atas persetujuan Khalifah Bani Abbas di Baghdad, Sultan mengimbau agar seluruh jamaah haji seluruh dunia jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam dimana saja berada. Maksud Sultan Salahuddin merayakan tradisi ini selain bentuk cintanya pada Rasul juga sebagai cara membangkitkan semangat juang umat Islam yang kala itu kehilangan semangat juang dan persaudaraan ukhuwah ketika terjadi perang salib.
Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Penyair Ahmad Syauqi menggambarkan kelahiran Nabi Mulia itu dalam syairnya yang indah:
“Telah dilahirkan seorang Nabi, alam pun bercahaya, sang waktu pun tersenyum dan memuji”.
Tradisi Maulid Nabi di Tanah Jawa
Bagi sebagian orang Islam tradisi merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan sebagai salah satu bentuk pengejewantahan rasa cinta umat kepada Rasul Nya.
Di tanah Jawa sendiri tradisi ini telah ada sejak zaman walisongo, pada masa itu tradisi Maulid Nabi dijadikan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam dengan menghadirkan berbagai macam kegiatan yang menarik masyarakat. Pada saat ini tradisi Maulid/Mauludan di Jawa disamping sebagai bentuk perwujudan cinta umat kepada Rasul juga sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa Walisongo.
Sebagian masyarakat Jawa merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i atau al-Burdah atau dalam istilah orang Jakarta dikenal dengan rawi. Barzanji dan Diba’i adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Sedangkan Al-Burdah adalah kumpulan syair-syair pujian kepada Rasulullah SAW yang dikarang oleh Al-Bushiri.
Berbagai macam acara dibuat untuk meramaikan acara ini, lambat laun menjadi bagian dari adat dan tradisi turun temurun kebudayaan setempat.
Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten. Istilah ini berasal dari stilasi lidah orang Jawa atas kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Perayaan umumnya bersifat ritual penghormatan (bukan penyembahan) terhadap jasa para wali penyebar Islam, misalnya upacara Panjang Jimat yaitu upacara pencucian senjata pusaka peninggalan para wali.
Di Cirebon upacara Panjang Jimat di fokuskan di dua tempat yaitu Keraton Kasepuhan dan Astana Gunung Jati. Di Jogjakarta dan Surakarta di masing-masing keraton dengan acaranya Grebeg Mulud. Pada zaman kesultanan Mataram perayaan Maulid Nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata "Gerebeg" artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di Garut, terdapat upacara Ngalungsur yaitu proses upacara ritual dimana barang-barang pusaka peninggalan Sunan Rohmat (Sunan Godog/Kian Santang) setiap setahun sekali dibersihkan atau dicuci dengan air bunga-bunga dan digosok dengan minyak wangi supaya tidak berkarat, di fokuskan di desa Lebak Agung, Karangpawitan. Di Banten kegiatan di fokuskan di Masjid Agung Banten. ditempat lain diantaranya tempat-tempat ziarah makam para wali.
Di beberapa tempat kadang-kadang perayaan ini dijadikan ajang berkumpulnya para tokoh masyarakat dan sesepuh setempat, seperti kyai, bangsawan/elang, dan tidak ketinggalan para jawara dari berbagai paguron untuk saling bersilaturahim, untuk membicarakan berbagai macam hal yang menyangkut daerah setempat. Tapi hal ini jarang diekspos karena sifatnya yang non formal, sehingga tidak banyak masyarakat yang mengikuti.
Pandangan Ulama NU
Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’izhah hasanah pada acara temanten dan Muludan.
Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: "Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa'at kepadanya di Hari Kiamat." Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”
Ditulis dari berbagai sumber.
"Panjang jimat dalam makna yang sederhana, berarti prosesi iring-iringan orang yang membawa benda-benda pusaka yang menjadi simbol kulturanl dalam momentum hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW," kata Sekretaris Keraton Kanoman RR Arimbi Nurtina ST kepada wartawan di Cirebon, Rabu.
Panjang jimat juga merupakan syiar ditandai dengan simbol verbal benda-benda pusaka yang menegaskan perpaduan makna tradisi dan ajaran Islam.
Dalam prosesi ini , ditampilkan bebagai simbolisasi apa-apa yang dibutuhkan orang dalam proses kelahiran, seperti bidan, air, gunting.
Sementara itu, yang banyak mendapat perhatian pengunjung ketika arak-arakan dipimpin Pangeran Patih PRM Qodiran yang mengenakan Jubah emas tanpa berbicara sepatah kata pun selama dalam prosesi.
"PRM Qodiran memimpin prosesi itu bukan tidak berbuat apa-apa, melainkan berzikir dan bersalawat kepada Nabi Muhmmad SAW," katanya.
Karena itu, lanjutnya, para pengunjung juga pada hakekatnya tidak boleh ada yang bersuara dan mengikuti berzikir dan hendaknya bersalawat seperti yang dilakukan PRM Qodiran.
Mengenai jubah emas yang dikenakan PRM Qodiran, ia mengatakan jubah tersebut sudah duplikat, yang semula dikenakan para Sultan terdahulu. "Sultan yang sekarang yakni Sultan Kanoman XII Raja Muhammad Emirudin bersama undangan hanya melepas arak-arakan Panjang Jimat yang dipimpin PRM Qodiran," katanya.
Arak-arakan tersebut melewati gapura Si Blawong yang tinggi besar dan pintunya hanya dibuka setahun sekali, yakni pada acara Panjang Jimat.
Selanjutnya, arak-arakan tersebut berakhir di Masjid Agung Keraton Kanoman untuk melakukan acara zikir dan salawatan dan berdoa bersama.
Pada "Panjang jimat" itu manusia diajak untuk mencari dan melewati pintu Keselamatan (disimbolkan oleh pintu besar Si Blawong). Sejatinya arti dari pintu Keselamatan itu adalah memeluk agama Islam.
Masyarakat yang hadir pada prosesi "Panjang Jimat" tersebut tampak berbaris rapat di sepanjang arak-arakan dari Langgar Keraton menuju Masjid Agung Keraton Kanoman.
Hadir dalam acara Panjang Jimat itu antara lain, Wagub Jabar Dede Yusuf dan sejumlah undangan lainnya.
Dede Yusuf dalam sambutannya antara lain minta agar keraton menyampaikan pasan damai dan kasih sayang sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah.
"Jangan sampai apa yang terjadi di daerah lain terjadi di Cirebon. Tetaplah budaya Islam di Keraton sebagaimana telah diajarkan para wali dan Sultan dalam menyampaikan Islam," katanya.`
Sementara itu, RR Arimbi Nurtina ST mewakili Sultan menyampaikan bahwa Keraton Kanoman senantiasa merawat dan melestarikan ritual setiap sebulan sekali, kebetulan yang paling besar adalah "Pajang Jimat.`
Menurut dia, Keraton Kanoman menggelar acara tersebut bersama masyarakat adat di Cirebon, Majalengka dan Kuningan, Brebes (Jateng) bahkan dari Malaysia.
"Walaupun dengan keterbatasan, kami dengan masyarakat adat selalu menyelenggarakan ritual," katanya.
Dipihak lain, ia mengakui adanya partisipasi dari pemerintah pusat, provinsi dan Kota terhadap kegiatan dan kemajuan Keraton Kanoman, tetapi tampaknya belum maksimal.
"Kami harap bantuan dari pemerintah dimaksimalkan," katanya.(*)